Pemikiran Orang-orang Orientalis Terhadap Hadits Nabi Muhammad SAW


Pemikiran Orang-orang Orientalis Terhadap Hadits

A. Biografi Ignaz Golddhizer.
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Székesfehérvar, Hungaria pada tanggal 22 Juni 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa Ibrani. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat berusia delapan tahun. Dalam usianya yang ke dua belas, ia seorang siswa sekolah yang telah memulai membuat karya tulisnya yang pertama tentang nenek moyang Yahudi serta pengelompokannya. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun, Universitas Budapest menjadi pilihannya setelah ia lulus dari sekolah, untuk mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno, bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa Turki dan Persia. 
 Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki. Arminius Vamberylah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher. Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz (1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian Negara Israel di Palestina.
Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka. Setelah dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden, Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di Universitas Budapest, Hungaria. Dosen privat pada saat itu adalah sebuah jabatan yang dianugerahkan kepada para intelektual muda sebagai sebuah keistimewaan untuk mengajar di universitas, namun tanpa gaji. Saat yang sama, Goldziher juga dipilih sebagai anggota " Akademi Sains Hungaria," sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya.
Sebagai "adat" para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir, ia dikenalkan oleh Dor Bey, seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja di Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher diperkenalkan kepada Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan beberapa lama dengan menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar, 'Abbasi, Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku dirinya "Muslim" (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu, bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher bisa "menembus" al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh al-Azhar lainnya.
Setelah sukses "bersandiwara," Goldziher kembali ke Budapest. Ia menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik. Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan dan menyesatkan.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Dia adalah sarjana Barat yang pertama kali melakukan kajian terntang hadits. Yang melambungkan namanya adalah karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai “kitab suci”nya para orientalis hingga kini.


Pemikiran Hadis Ignaz Goldziher
            Goldziher mengatakan sunnah adalah istilah animis yang kemudian dipakai oleh orang-orang islam. Hal ini dibantah oleh Prof. Azami, menurut beliau kata-kata sunnah sudah dipakai dalam sya’ir-sya’ir jahiliyah, Al-Quran, dan kitab-kitab hadis untuk menunjuk kepada arti tata cara, jalan, perilaku hidup, syari’ah, dan jalan hidup. Kalaupun orang – orang jahiliyah atau penganut animisme menggunakan sebuah kata dalam bahasa arab untuk arti yang etismologis, maka hal itu tidak menjadi istilah jahiliyah atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa arab pun seluruhnya juga istilah jahiliyah dan ini tentunya tidak akan diterima oleh akal sehat.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.

Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.
Beberapa contoh di antaranya :
1.Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam. Para ulama menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara 50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.

2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan kebenaran sumbernya. 
3. Goldziher telah memfitnah Wakî‘ dengan mengubah pernyataan Wakî‘ tentang Ziyâd Ibn ‘Abdillah al-Bukkâ'î, هو أشرف أن يكذب "Beliau sangat jauh dari melakukan kebohongan"
Menjadi: 
إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"       
Sepintas saja, terlihat perbedaan makna yang sangat mencolok. Wakî‘ bermaksud meniadakan sifat bohong pada diri Ziyâd secara mutlak, bukan hanya kebohongan dalam hadis saja. Tetapi, Goldziher menyatakan yang sebaliknya bahwa Ziyad adalah seorang pembohong.
4.Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah:
a.       Hadis tentang larangan menulis sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry: لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ...الحديث(رواه مسلم) "Jangan kalian tulis ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya ia menghapusnya!"
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...
اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat daftar nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang yang terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang memperbolehkan dan mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy, Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah termasuk ahl al-ra'y.

5. Goldziher menuturkan bahwa "bimbingan resmi" dan kegiatan penguasa" untuk memalsukan hadis sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam. Dampaknya tampak dalam pesan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah agar ia mengucilkan ‘Ali dan pengikutnya, serta jangan menerima hadis-hadis mereka. Di pihak lain, Utsman dan dan para pengikutnya supaya disanjung-sanjung dan diterima hadisnya. Pesan ini merupakan "siaran resmi" yang melegalisir pemalsuan hadis untuk memojokkan ‘Ali demi membela kepentingan Utsman.
Glodziher menyimpulkan hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam tarîkh karangan al-Thabâry, di mana Mu‘awiyah berpesan kepada al-Mughirah, "Jangan segan-segan mencaci dan mengecam ‘Ali, dan jangan bosan menyayangi dan memohonkan ampunan untuk Usman. Aib berada pada pengikut-pengikut ‘Ali, karenaya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya!"
Dr. Al-A‘zhamy menjawab, "Orang yang membaca teks-teks tersebut berikut kesimpulannya akan merasa heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran, jika dalam suatu negara, pemerintah selalu mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal kepadanya, bukan pembangkang. Inilah yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."
B. Biografi Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.
Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggeris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggeris, dan menikah dengan wanita Inggeris.
Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunyaThe Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.
 Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadi. Maka kesimpulan yang didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil para qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schatc.
Pemikiran Joseph Schacht
Orientalis berikutnya yang meragukan otentisitas hadits  adalah Josepht Schahct, secara umum dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits  banyak bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah palsu. sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht mengatakan : we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih.
Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad  mungkin valid untuk melacak hadits-hadits sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diringkas dalam lima poin:
1.      Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad pertama.
2.      Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.      Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.      Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.      Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:
1.      Teori Projecting Back
Maksud dari teori ini bahwa untuk melihat keaslian hadits  bisa direkonstruksikan lewat penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut hadits  Nabi. Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila ditemukan Hadits -Hadits  yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits -hadits  itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia berpendapat bahwa Hukum Islam  baru dikenal semenjak masa pengangkatan para qadhi (hakim agama). Pada khalifah dahulu (khulafa al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
 Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu, misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah  rekontruksi terbentuknya sanad Hadits  menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan  pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting Back.
 Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau  tambahan para fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh  madzhab mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2.      Teori Esiliento
Sebuah teori yang disusun berdasarkan  asumsi bahwa bila seseroang perawi  pada waktu tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits  dan gagal menyebutkannya atau jika satu hadits  oleh ulama atau perawi  yang datang kemudian yang mana para perawi sebelumnya menggunakan hadits tersebut, maka berarti hadits  tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits  ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan  isnad yang komplit, maka isnad  itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk membuktikan  hadits  itu eksis/ tidak, cukup dengan menunjukkan bahwa hadits  tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi para fuqaha. Sebab seandainya hadits  itu pernah ada pasti hal itu akan dijadikan sebagai refrensi.
3.      Teori Common Link
Yakni sebuah teori yang beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan sebuah hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.
 C.Nabia Abott
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nabia (1897-1981) terkait dunia tulis menulis sebelum Nabi Muhammad lahir, sebenarnya telah ditemukan naskah berbahasa arab dalam bentuk sastra. Sedangkan untuk penulisan hadis, Nabia (1897-1981) mengatakan bahwa sebagian kecil hadis telah ditulis di masa Muhammad masih hidup, dan tumbuh setelah Muhammad wafat. Nabia (1897-1981) menambahkan, bahwa penyebaran hadis secara lisan ternyata tidak berlangsung lama, selain untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan juga untuk membentuk kepercayaan masyarakat terhadap seluruh isi hadis, dan untuk memelihara redaksi dan isi dari teks hadis tersebut, maka dari satu generasi ke generasi selanjutnya penyebaran hadis melalui lisan dan tulisan dilakukan secara berkesinambungan.
 Sebagai tanggapan terhadap pandangan Goldziher (w. 1921) ini, Nabia Abbott (1897-1981) menyatakan bahwa praktek penulisan hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan ”berkesinambungan”. Yang dimaksud Nabia (1897-1981) dengan kata-kata “sejak awal” adalah bahwa para sahabat nabi sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis. Sedangkan kata “berkesinambungan” dimaksudkan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan secara tertulis, selain dengan lisan hingga hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai koleksi kanonik. Periwayatan hadis secara tertulis inilah yang menurutnya dapat dijadikan sebagai jaminan bagi keshahihannya.
Era yang dipilih oleh Nabia Abbott (1897-1981) untuk menguji hipotesanya bahwa hadis sudah ditulis sejak masa hidup nabi mengambil empat periode umum. Pertama adalah periode selama kehidupan Muhammad saw. Kedua adalah periode setelah wafatnya Muhammad saw. ketika ada perkembangan dalam jumlah hadis secara luas yang disebarkan oleh para sahabat hingga datangnya periode Umayyah. Periode ketiga adalah era Umayyah ketika peranan kunci Ibnu Syihâb al-Zuhrî (w. 124/742) ditekankan. Pada periode keempat, berbagai koleksi hadis formal atau hadis yang terkodifikasi muncul pada buku-buku kanonik. 
Nabia (1897-1981) menambahkan bahwa kegiatan tulis menulis bukan tidak umum di kalangan orang-orang Arab dan bahkan di masa pra Islam. Lebih jauh dikatakan laporan-laporan mengenai Nabi Muhammad saw. telah ditulis semenjak masa hidup nabi saw. Kenyataan bahwa tidak ada naskah yang survive dari periode ini disebabkan oleh sikap ‘Umar (w. 23/644). Penolakan Umar bukan karena kegagalan dan keengganan mereka itu untuk menulis hadis, tetapi karena ketakutan Umar terhadap percampuran hadis dengan al-Qur`an. Dikarenakan pada saat itu terdapat hadis qudsi. Disamping itu, Umar juga mengalami kekhawatiran terhadap suatu perkembangan dalam islam, yang paralel dengan standarisasi yang ada dalam Yudisme dan kekristenan. Karena hal itu, para sahabat lalu menghindari untuk meriwayatkan hadis, baik secara tertulis maupun lisan, karena takut kepada ‘Umar. Hanya sedikit sahabat yang tetap mencatat, menghimpun dan meriwayatkan hadis yang kemudian menjadi dasar bagi koleksi hadis belakangan.
Selanjutnya, Nabia (1897-1981 M) mengatakan bahwa keputusan Umar menentang penulisan hadis itu pada mulanya didukung oleh sekelompok kecil pendukungnya, tetapi setelah Umar membakar ataupun menghancurkan naskah-naskah hadis, maka banyak sahabat yang menahan diri untuk melakukan hal tersebut. Penghancuran naskah hadis itu dilakukan oleh Umar, karena ia mengetahui adanya rencana penyusunan naskah hadis. Pada saat itu sebenarnya tidak banyak sahabat yang menentang penulisan hadis, diantara mereka ialah Abdullah ibn Mas`ud, Zaid ibn Tsabit dan Abu Said al-Khudri.
Ada satu bukti bahwa Abdullah ibn Umar yang pada awalnya menyetujui keputusan ayahnya (Umar) tersebut, akan tetapi belakangan ia mulai melunak dan secara diam-diam memperbolehkan bahkan sampai memerintahkan murid-muridnya untuk menulis hadis. Hal ini kemudian diikuti pula oleh para sahabat lain walaupun pada awalnya mereka juga mendukung keputusan Umar tersebut. Pengumpulan dan penulisan hadis-hadis tersebut pada awalnya menjadi perhatian orang perorang (kalangan individual saja), akan tetapi kemudian khalifah-khalifah Bani Umayyah seperti; Mu`awiyyah (w. 60/ 680), Marwan dan Abdul Malik (w. 86/706) mengambil peranan penting pula dalam periwayatan dan penghimpunan hadis-hadis, khususnya Umar ibn abd al-Aziz yang sangat berhubungan dengan literatur hadis. Nabia (1897-1981 M) menerima laporan (yang ditemukan pada riwayat Shaybani (w. 189/ 805) dalam kitab muwattha` karya Malik ibn Anas) bahwa Umar ibn Abd al-Aziz telah memerintahkan Abu Bakar inm Muhammad ibn Amr ibn Hazm (w. 120/ 738) yang pada saat itu menjadi Gubernur Madinah untuk menghimpun hadis. Hal itu  berlanjut kembali dengan diperintahkannya Ibn Shihab al-Zuhri oleh Amr untuk menyusun sejumlah hadisyang berasal dari berbagai wilayah tersebut.
 Dengan wafatnya ‘Umar dan penyebaran Mushaf  ‘Utsmânî, kekhawatiran tersebut menjadi hilang. Hadis kemudian mengalami perkembangan yang sangat berarti pada separo kedua abad pertama. Para sahabat yang dulunya berpihak kepada ‘Umar dan enggan meriwayatkan hadis mulai mencatat dan memelihara “pengetahuan mereka”. Selanjutnya, hadis diajarkan di berbagai pusat Islam, terutama di Madinah dan Mekkah, tidak hanya oleh para ahli hukum dan para hakim, tetapi juga oleh para guru, pengkhotbah dan tukang cerita (qushshâsh/ story tellers). 
 Bukti bahwa hadis sudah ditulis sejak awal Islam adalah adanya laporan-laporan tentang tulisan para sahabat dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan para tabiin abad pertama dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan para tabiin muda dan tulisan yang berasal dari mereka, tulisan sejumlah tabiin muda dan para pengikut tabiin dan tulisan yang berasal dari mereka. Tentang hal ini, M.M. Azami menyebutkan paling tidak 52 sahabat , 52 tabiin abad pertama, 99 tabiin muda, 247 tabiin muda dan para pengikut tabiin yang telah menulis hadis. 
Salah satu bukti dari sekian banyak naskah hadis yang ditulis oleh para sahabat dan tabiin adalah naskah Hammâm ibn Munabbih (40-131/132 H), seorang tabiin Yaman yang menerima hadis dari gurunya, Abû Hurayrah dari Muhammad Rasulullah saw. Naskah Hammâm ini kemudian dikenal sebagai ShahÎfah Hammâm bin Munabbih yang ditemukan oleh Muhammad HamÎdullah di Damaskus, Syria dan di Berlin, Jerman. ShahÎfah Hammâm ini berisi 138 hadis tanpa disertai daftar isi dan diyakini telah ditulis sekitar pertengahan abad pertama hijrah. 
Selain naskah Hammam, ada beberapa naskah yang sudah ditemukan yang dapat digunakan untuk mendukung pendapat Nabia Abbott (1897-1981) tersebut.  Naskah-naskah itu adalah:
1.      Naskah hadis-hadis al-A’masy (w. 148 H) yang diriwayatkan oleh Wâqi’.
2.      Kitab al-Manâsik karya Ibnu Abi ‘Arûbah (w. 157 H).
3.      Sebagian dari kitab Sîrah Ibnu Ishâq (w. 151).
4.      Sebagian Naskah hadis-hadis Ibnu Jurayj (w. 150 H).
5.      Naskah Ibnu Thahmân (w. 168 H), juz pertama saja.
6.      Naskah Juwairiyyah yang berisi hadis Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
7.      Naskah ‘Ubaidillâh bin ‘Umar yang berisi hadis dari Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
8.      Naskah Suhail bin Abû Shâlih (w. 138 H) yang berisi hadis dari ayahnya.
9.      Juz awal dari Naskah hadis-hadis Sufyân al-Tsawrî (w. 161 H).
10.  Naskah al-Layts bin Sa’ad yang berisi hadis dari Yahid bin Abû Habîb (w. 128 H).
11.  Naskah Syu’aib bin Abû Hamzah yang berisi hadis dari al-Zuhri (w. 124 H). 
Implikasi dari ditemukannya Naskah Hammâm bin Munabbih dan beberapa naskah yang lain adalah bahwa hadis sudah ditulis sejak sangat awal oleh para shabat dan tabiin. Tentu saja ini merupakan bantahan terhadap pendapat Ignaz Goldziher (w. 1921) bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan hanya melalui lisan dan tidak melibatkan dokumen tertulis.
B.     Respon Terhadap Pemikiran Nabia Abbott (1897-1981)
Dua kategori yang biasa dicantumkan terkait respon adalah pro, dan kontra. Namun pemikiran Nabia c terkait periwayatan hadis secara tertulis penulis tidak menemukannya. Respon yang berupa positif dan negatif terdapat dalam pemikiran Nabia (1897-1981 M)  yang tentang pertumbuhan isnad. Musthafa Azami berada dalam pihak pro dalam memberikan komentar tentang explosive sanad, sedangkan Schact berada dalam pihak kontra yang merespon negatif dalam pembahasan family isnad.
Melihat data-data dan argumen yang diberikan oleh Nabia (1897-1981)  dalam menolak pandangan Goldziher (1921) dan menyuguhkan bermacam arsip dan script, dapat penulis katakan bahwa penelitian ini dilakukan dengan landasan kepentingan ilmiyyah, dan bukan kepentingan lain seperti pembelaan golongan tertentu, politik, atau yang lainnya. Penulis juga menyetujui pandangan terkait periwayatan hadis ini dengan alasan kelengkapan data yang disuguhkan Nabia (1897-1981 M).

D. Arent Johannes Wennsinck.
            Arent Jan Wensinck adalah Penyusun utama bagi kitab indeks hadith-hadith yang berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi. Terdapat perbezaan ejaan nama iaitu terdapat ejaan Arend Jan Wensinck seperti yang terdapat di dalam al-I'lam susunan Khair al-Din al-Zirkili (Lihat al-’Ilam, j. 1, hlm. 289)Namun begitu ada juga yang menyebut Arnold James Wensinck, tetapi ejaan ini tidak tepat kerana tidak terdapat ejaan yang benar pada buku-buku karangan beliau.
            Terdapat pandangan mengatakan bahawa nama sebenar beliau adalah Arent atau Arend Johannes Wensinck, ini berdasarkan pada surat beliau sendiri yang bertarikh pada 5 Maret 1934 yang ditulis dalam bahasa Arab dengan meletakkan ringkasan nama dengan huruf Alif. Ya. Wensinck. Ya itu merujuk kepada (يوهنس) Johannes. Surat ini dihantar dari Belanda kepada Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy di Mesir. Arent Jan Wensinck (meninggal 1939 M). Nama penuh kitab berkenaan adalah al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi ‘an al-Kutub al-Sittah wa ‘an Musnad al-Darimiy wa Muwatta’ Malik wa Musnad Ahmad Ibn Hanbal atau dalam Bahasa Belanda ditulis Concordance Et Indices de La Tradition Musulmane Les Six Livres Le Musnad D’al-Darimi, Le Muwatta’ de Malik, Le Musnad de Ahmad Ibn Hanbal cetakan 1939 hingga 1969. Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 1882M bersamaan 1299H di Aarlanderveen, Belanda dan meninggal pada 1939M bersamaan 1358H. Ayah beliau bernama Johan Herman Wensinck manakala ibu beliau bernama Anna Sara Geertruida Vermeer. Wensinck berkahwin pada 3 Oktober 1912M dengan Maria Elisabet Daubanton dan mendapat dua anak lelaki dan dua anak perempuan. Beliau merupakan pensyarah Bahasa Arab di Universiti Leiden, Belanda. Beliau berkhidmat di universiti tersebut bermula 1927 hingga beliau meninggal dunia. Sering merantau ke Mesir, Syria dan negara-negara Arab lain.
E. G.H.A Juyboll.
1. biografi dan karya-karya G.A.H Juynboll.
            Gautier H.A Juyboll yang lahir di leiden belanda pada tahun 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah perkembangan awal hadits selama 30 tahun lebih ia secara serius mencurahkan perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer. Juynboll yang sering di beberapa kesempatan mengatakan “seluruhnya akan ku persembahkan untuk hadits nabi”, ia juga mengajar di beberapa universitas di belanda.
2. pokok pemikiran juynboll.
            Pada masa dahulu sahabat-sahabat ( yaitu orang-orang yang bergaul dengan nabi) merupakan sumber yag paling baik untuk mengetahui sunnah nabi Muhammad SAW. Mereka mendengar sendiri dari nabi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap perbuatan-perbuatan. Kemudian kaum muslimin harus merasa puas dengan pemberitaan para tabiin ( yakni para pengganti atau orang-orang angkatan pertama sesudah Muhammad SAW) yang telah menerima dari para sahabat. Maka para angkatan berikutnya dengan keterangan dari para tabiut-tabiin.
            Riwayat-riwayat hadits memegangi keterangan perseorangan selama beberapa angkatan. Setiap hadits yang sempurna terdapat dua bagian. Bagian pertama berisi nama-nama yang memberikan bahan hadits kepada orang lain. Bagian ini di sebut isnad ( atau juga sanad). Yakni “ sandaran “ . bagian kedua adalah matan atau kata-kata (hadits). Bahan yang sebenarnya dari pemberitaan.
            Terdapat dua hal yang mendasari pentingnya penelitian hadits, yaitu: A. Terkait dengan posisi hadits sebagai sumber hukum islam, B. Terkait dengan history hadits. Argumen history mencangkup alasan karena tidak semua hadits telah tertulis dimasa rasullah. Secara factual telah terjadi manipulasi dan pemalsuan hadits. Adapun kriteria dalam kritik sanad adalah:
1.      Sanad bersambung.
2.      Sanad bersifat adil.
3.      Perawi bersifat dhabit.
4.      Terhindar dari syadz.
5.      Terhindar dari ilat.
          Metode tersebut sudah dianggap mapan oleh para hadits klasik. Namun pada pandangan juynboll sangat berbeda. Menurutnya metode klasik tersebut masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk penisbahan terhadap hadits nabi. Juynboll mengatakan ada beberapa titik kelemahan dalam metode tersebut, yaitu:
A.    Kemunculan metode kritik hadits konsvesionel dianggap terlambat.
B.     Isnad dapat dipastikan secara keseluruhan sesuai dengan kondisi budaya dan politik di masanya.
C.     Tidak diterapkan kritik matan yang tepat.
Dalam hal ini juynboll menawarkan metode common link periwayat pertama yang berbeda dengan pendahuluannya dengan bundel isnad. Juynboll sering kali mengatakan sebuah asumsi yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah yang relative baru. Junyboll mengatakan semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu maka semakin besar pula seorang periwayat yang memiliki kesejarahan tertentu.
Sebuah hadits berasal dari nabi hanya melalui sahabat kepada seorang tabiin lalu sampai pada tabiin yang lain hingga sampai pada common link. Setelah itu jalur periwayatan mulai tersebar dan terpancar keluar kesejarahan jalur periwayatan dari nabi hingga common link tersebut tidak dapat di pertahankan.
Persoalan kenapa nabi hanya menyampaikan haditsnya hanya kepada seorang sahabat saja dan mengapa seorang sahabat hanya menyampaikan kepda seorang tabiin saja dan begitu seterusnya. Idealnya mayoritas isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari nabi. Dan kemudian memencar kepada sejumlah sahabat dan kemudian disampaikan kepada sejumlah sahabat. Pendek kata juynboll menginginkan mengenai sejarah awal periwayatan hadits lebih bersifat ideal dan tidak realistis. Ia mengharapkan bahwa sebuah jalur isnad seharusnya memancarkan sejak awal dari nabi melalui beberapa sahabat kemudian beberapa tabiin dan seterusnya hingga kepada kolektor hadits.
Persolan disini adalah dalam meriwayatkan hadits kenapa hanya pada seorang saja. Dan kenapa jalur isnad dimulai dari common link. Bahkan yag lebih penting lagi adalah periwayat yang menjadi common link dianggap bertanggung jawab atas jalur tunggal yang kembali pada nabi. Pada abad ke-2 tidak dapat menerima penjelasan yang menyatakan bahwa dunia islam penuh sesak dengan periwayatan hadits. Dimana beratus-ratus hadits oleh para dadakan yang menjadi perawi tunggal kepada perawi pribadi lain dan seterusnya.
Menurut pendirian kaum muslimin. Sesuatu hadits hanya dapat di percaya apabila isnadnya memberikan rangkaian yang tidak terputu-putus dari orang kepercayaannya. Penelitian-penelitian yang kritis terhadap isnad telah menyebabkan ulama-ulama muslimin melakuakan penyelidikan-penyelidikan yang sempurna. Bukan saja mereka berusaha untuk menentukan (memastikan) nama-nama dan keadaan orang-orang (perawi) dengan maksud untuk menyelidiki kapan dan dimana mereka hidup.
F. kesimpulan.
            sebagian besar ahli hadits beranggapan bahwa apabila sebuah hadits yang disandarkan kepada nabi dalam koleksi hadits kanonik. Lebih-lebih hadits yang shohih al-bukhari dan muslim maka hadits itu bersumber dari nabi. Dalam hal ini para tokoh orientalis pun menawarkan metode common link yang menurutnya pantas untuk menggantikan metode kritik hadits klasik tersebut. Teori common juga dimaksudkan untuk menolak semua asumsi dasar yang menjadi pijakan metode itu.
            Para tokoh ini menawarkan metode common link untuk mengganti dari metode klasik konvensional. Kritik keshahihan sebuah hadits menurut teori common link bukan hanya terletak pada kualitas dan kuantitas riwat bahkan terletak pada konteks kesejarahannya. Semakin banyak jalur isnad yang memancar atau menuju jalur periwayat semakin besar pula jalur itu memiliki klaim kesejarahan.

       



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sistem pemerintahan negara swedia.

ayat Al-Quran yang berkaitan dengan diplomasi islam

Food Security (keamanan pangan)