Pemikiran Orang-orang Orientalis Terhadap Hadits Nabi Muhammad SAW
Pemikiran Orang-orang
Orientalis Terhadap Hadits
A. Biografi Ignaz
Golddhizer.
Ignaz Goldziher seorang Yahudi yang lahir di Székesfehérvar, Hungaria pada
tanggal 22 Juni 1850. Ia terlatih dalam bidang pemikiran sejak usia dini. Dalam
usia lima tahun, ia mampu membaca teks Bibel "asli" dalam bahasa
Ibrani. Kemudian dilanjutkan dengan mempelajari Talmud pada saat berusia
delapan tahun. Dalam usianya yang ke dua belas, ia seorang siswa sekolah yang
telah memulai membuat karya tulisnya yang pertama tentang nenek moyang Yahudi
serta pengelompokannya. Pendidikan S1-nya bermula pada usia 15 tahun,
Universitas Budapest menjadi pilihannya setelah ia lulus dari sekolah, untuk
mempelajari sastra Yunani dan Romawi kuno, bahasa-bahasa Asia, temasuk bahasa
Turki dan Persia.
Ia sangat terpengaruh oleh pemikiran
dosennya, yaitu Arminius Vambery (1803-1913), seorang pakar tentang Turki.
Arminius Vamberylah yang banyak mewarnai kehidupan intelektual awal Goldziher.
Arminius Vambery adalah keturunan Yahudi yang mengenalkan Theodor Herz
(1860-1904) pendiri Zionisme, untuk melobi Sultan Hamid II terkait pendirian
Negara Israel di Palestina.
Setelah menyelesaikan studinya di Budapest, Goldziher melanjutkan studinya
di Universitas Leipzig, Jerman. Ia meraih gelar doktor dari universitas
tersebut ketika berusia 19 tahun. Gelar itu diperolehnya setelah dibimbing
selama dua tahun oleh Heinrich Fleisher, orientalis Jerman terkemuka. Setelah
dari Leipzig, Goldziher melanjutkan penelitiannya di Universitas Leiden,
Belanda, selama setahun. Selanjutnya, pada usianya yang ke-21, ia pulang ke
kampung halamannya dan menjadi dosen privat (Privatdozent) di
Universitas Budapest, Hungaria. Dosen privat pada saat itu adalah sebuah
jabatan yang dianugerahkan kepada para intelektual muda sebagai sebuah
keistimewaan untuk mengajar di universitas, namun tanpa gaji. Saat yang sama,
Goldziher juga dipilih sebagai anggota " Akademi Sains Hungaria,"
sebuah penghargaan yang diberikan pada dirinya.
Sebagai "adat" para orientalis untuk mengunjungi dan menetap di
negara-negara Muslim supaya secara langsung dapat berinteraksi dengan para
ulama, Goldziher juga berkunjung ke Syria dan Mesir pada 1873-1874. Di Mesir,
ia dikenalkan oleh Dor Bey, seorang pejebat keturunan Swiss yang bekerja di
Kementrian Pendidikan Mesir. Melalui Dor Bey, Goldziher diperkenalkan kepada
Riyad Pasha, Menteri Pendidikan Mesir. Setelah berkenalan beberapa lama dengan
menteri pendidikan Mesir, Goldziher mengemukakan hasratnya untuk belajar di
Universitas al-Azhar. Atas rekomendasi Riyad Pasha lah, Syakhul al-Azhar,
'Abbasi, Mufti Masjid al-azhar terbujuk. Setelah bertemu dengan Goldziher yang
saat itu mengaku bernama Ignaz al-Majari(Ignaz dari Hungaria) dan mengaku
dirinya "Muslim" (namun dalam makna percaya kepada Tuhan yang satu,
bukan seorang musyrik) , serta dengan kelihaiannya berdiplomasi, maka Goldziher
bisa "menembus" al-Azhar. Ia menjadi murid beberapa masyayikh al-Azhar,seperti
Syaikh al-Asmawi, Syaikh Mahfudz al-Maghribi, Syaikh Sakka dan beberapa syaikh
al-Azhar lainnya.
Setelah sukses "bersandiwara," Goldziher kembali ke Budapest. Ia
menjabat sebagai Sekretaris Zionis Hungaria. Bagaimanapun, kajian tentang Islam
lebih mewarnai kehidupannya dibanding keterlibatannya di bidang politik.
Goldziher menulis banyak karya tentang studi Islam. Ia menulis misalnya, Muhammedanisnche Studien (Studi
Pengikut Muhammad, 2 jilid,1889-1890); Die Riechtungen der islamischen Koranauslegung (Mazhab-Mazhab
Tafsir dalam Islam,Leiden,1920) dan masih banyak lagi karya lainnya.
Setelah kembali ke Eropa, oleh rekan-rekannya ia dinobatkan sebagai
orientalis yang konon paling mengerti tentang Islam, meskipun dan justru karena
tulisan-tulisannya mengenai Islam sangat negatif dan distortif, mengelirukan
dan menyesatkan.
Menurut perkiraan Prof. Dr. M.M. Azami, Dia adalah sarjana Barat yang
pertama kali melakukan kajian terntang hadits. Yang melambungkan namanya adalah
karyanya yang berjudul Muhammedanische Studien (Studi Islam) sebagai
“kitab suci”nya para orientalis hingga kini.
Pemikiran Hadis Ignaz
Goldziher
Goldziher
mengatakan sunnah adalah istilah animis yang kemudian dipakai oleh orang-orang
islam. Hal ini dibantah oleh Prof. Azami, menurut beliau kata-kata sunnah sudah
dipakai dalam sya’ir-sya’ir jahiliyah, Al-Quran, dan kitab-kitab hadis untuk
menunjuk kepada arti tata cara, jalan, perilaku hidup, syari’ah, dan jalan
hidup. Kalaupun orang – orang jahiliyah atau penganut animisme menggunakan
sebuah kata dalam bahasa arab untuk arti yang etismologis, maka hal itu tidak
menjadi istilah jahiliyah atau animis. Kalau hal ini dibenarkan, maka bahasa
arab pun seluruhnya juga istilah jahiliyah dan ini tentunya tidak akan diterima
oleh akal sehat.
Ignaz Goldziher menuduh bahwa penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama
klasik tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena kelemahan
metodenya. Hal itu dikarenakan para ulama lebih banyak menggunakan metode
kritik sanad, dan kurang menggunakan metode kritik matan. Karenanya, Goldziher
kemudian menawarkan metode kritik baru yaitu kritik matan saja.
Sebenarnya para ulama klasik sudah menggunakan metode kritik matan. Hanya
saja apa yang dimaksud metode kritik matan oleh Goldziher itu berbeda dengan
metod kritik matan yang dipakai oleh para ulama. Menurutnya, kritik matan
hadits itu mencakup berbagai aspek, seperti politik, sains, sosio kultural dan
lain-lain. Ia mencontohkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab shahih
Bukhari, dimana menurutnya, Bukhari hanya melakukan kritik sanad dan tidak
melakukan kritik matan. Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam kitab shahih
Bukhari tersebut terdapat hadits-hadits palsu.
Dari berbagai penelusuran dan penelitian para ulama terhadap tuduhan
Goldziher tersebut. Ternyata tuduhan Goldziher seringkali ahistoris, irasional
dan miskin data serta minimnya pengetahuan. Begitu pula hal yang sama dilakukan
oleh para orientalis lainnya termasuk Joseph Schacht.
Beberapa contoh di
antaranya :
1.Hadits “Tidak diperintahkan pergi kecuali menuju ketiga Masjid, Masjid
al-Haram, Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha.” Menurut Goldziher hadits ini
palsu karena buatan Ibnu Shihab al-Zuhri bukan ucapan Nabi Saw sekalipun
terdapat dalam kitab shahih Bukhari. Ibnu Shihab al-Zuhri menurut Goldziher
dipaksa oleh Abdul Malik Bin Marwan penguasa dinasti Umayyah waktu itu untuk
membuat hadits tersebut karena khawatir Abdullah bin Zubair (yang
memproklamirkan dirinya sebagai khalifah di Makkah) menyuruh warga Syam yang
sedang beribadah haji untuk berbaiat kepadanya. Karenanya, Abdul Malik bin
Marwan berusaha agar warga Syam tidak lagi pergi ke Makkah, tetapi cukup hanya
pergi Masjid al-Aqsha yang pada saat itu menjadi wilayah Syam. Para ulama
menyatakan, tidak ada bukti historis yang mendukung teori Goldziher, bahkan
sebaliknya. Para ahli tarikh berbeda pendapat tentang kelahiran al-Zuhri, antara
50 sampai 58 H. Al-Zuhri juga belum pernah bertemu dengan Abdul Malik bin
Marwan sebelum tahun 81 H. Pada tahun 68 H orang-orang dari Dinasti Umayyah
berada di Makkah pada musim haji. Apabila demikian adanya, al-Zuhri pada saat
itu masih berumur 10 sampai 18 tahun. Karenanya sangat tidak logis seorang anak
yang baru berumur belasan tahun sudah populer sebagai intelektual dan memiliki
reputasi ilmiah di luar daerahnya sendiri, dimana ia mampu mengubah pelaksanaan
ibadah haji dari Makkah ke Jerusalem. Lagi pula di Syam pada saat itu masih
banyak para sahabat dan tabi’in yang tidak mungkin diam saja melihat kejadian
itu.
Sementara teks haditsnya sendiri tidak menunjukkan bahwa ibadah haji dapat
dilakukan di Jerusalem. Yang ada hanyalah isyarat pengistimewaan kepada
Masjidil Aqsha yang pernah dijadikan kiblat umat Islam. Di sisi lain, hadits
tersebut diriwayatkan oleh delapan belas orang selain al-Zuhri. Lalu kenapa
hanya al-Zuhri yang dituduh memalsukan hadits tersebut?
Dari sini nampaknya tidak terlalu sulit bahwa tujuan utama Goldziher adalah
untuk meruntuhkan kredibilitas Imam Bukhari. Apabila umat Islam sudah tidak
percaya lagi kepada shahih Bukhari, maka hadits-hadits Rasulullah Saw di
dalamnya tidak akan dipakai lagi. Pada gilirannya kemudian Imam-Imam ahli
hadits lainnya juga dikorbankan. Dengan demikian tamatlah sudah apa yang
disebut hadits, dan robohlah satu pilar Islam.
2. Goldziher berpendapat bahwa hadits secara keseluruhan merupakan produk
orang-orang yang hidup pada abad kedua atau awal abad ketiga hijriah dan bukan
merupakan ucapan Nabi Saw., sebab hukum-hukum syariah tidak dikenal umat Islam
pada kurun pertama hijriah. Sehingga para ulama Islam di abad ketiga banyak
yang tidak mengetahui sejarah Rasul. Ia menukil tulisan al-Darimy, seorang Arab
muslim dalam bukunya hayat al-hayawan (dunia hewan), dimana dinyatakan dalam
tulisannya, bahwa Abu Hanifah tidak mengetahui secara pasti terjadinya perang
Badar, apakah sebelum atau sesudah perang Uhud?
Tidak diragukan lagi, bagi orang yang sedikit penelaahannya terhadap
sejarah akan menyatakan demikian. Abu Hanifah adalah ulama yang paling terkenal
yang banyak berbicara tentang hukum peperangan dalam Islam, bisa dibuktikan
melalui Fikihnya yang sangat fenomenal dan buku-buku karangan murid-muridnya
seperti Abu Yusuf dan Muhammad.
Dari buku karangan Abu Yusuf Sirah Imam al-Auza’i dan buku karangan
Muhammad Sirah Kabir, jelas menunjukkan penguasaan para murid Imam Abu Hanifah
terhadap sejarah peperangan Islam yang menyiratkan keluasan pengetahuan
gurunya, Imam Abu Hanifah.
Goldziher sebenarnya mengetahui kedua
kitab itu yang menetapkan apakah Imam Abu Hanifah itu bodoh atau berpengetahuan
tentang sejarah peperangan Islam, kecuali memang untuk merusak kredibilitas
ulama besar tersebut. Goldziher bersandar kepada buku al-Darimy yang membahas
dunia hewan, terlebih lagi bahwa buku itu bukan buku sejarah atau fikih. Dengan
demikian membuktikan bahwa Goldziher keliru tanpa terlebih dahulu membuktikan
kebenaran sumbernya.
3. Goldziher telah memfitnah Wakî‘ dengan mengubah pernyataan Wakî‘ tentang
Ziyâd Ibn ‘Abdillah al-Bukkâ'î, هو أشرف أن يكذب "Beliau sangat jauh
dari melakukan kebohongan"
Menjadi: إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Menjadi: إنه مع شرفه في الحديث كان كذوبا "Dia itu dibalik kemuliaannya dalam hadis adalah seorang pembohong"
Sepintas saja, terlihat perbedaan makna yang sangat mencolok. Wakî‘
bermaksud meniadakan sifat bohong pada diri Ziyâd secara mutlak, bukan hanya
kebohongan dalam hadis saja. Tetapi, Goldziher menyatakan yang sebaliknya bahwa
Ziyad adalah seorang pembohong.
4.Goldziher menyatakan bahwa hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan dan
anjuran penulisan hadis itu berstatus maudhu‘. Semua hadis ini telah
dibuat-buat oleh kelompok muhaddits dan ahl al-ra'y (ahli fikih) untuk
mendukung pendapatnya masing-masing. Hadis-hadis tersebut adalah:
a. Hadis tentang larangan menulis
sabda Nabi Muhammad Saw dari Abu Sa‘îd al-Khudry: لَا تَكْتُبُوا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ
فَلْيَمْحُهُ...الحديث(رواه مسلم) "Jangan kalian tulis
ucapan-ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain al-Qur'an, hendaknya
ia menghapusnya!"
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
2. Hadits tentang anjuran Nabi Saw untuk menulis sabdanya dari Abu Hurairah:
...اكْتُبُوا لِأَبِي شَاهٍ...الحديث (رواه الشيخان) "… Tuliskanlah untuk Abu Syah!...."
Menurutnya, hadis yang berisi tentang larangan Nabi Saw atas penulisan hadis telah dibuat oleh ahl al-Ra'y, sedangkan hadis yang kedua yang memperbolehkan bahkan menyuruh penulisan hadis dibuat oleh para muhaddits.
Al-A‘zhamy menjawab kritikan ini dengan pernyataannya bahwa jika melihat
daftar nama orang-orang yang menentang dan memperbolehkan penulisan hadis, akan
diketahui bahwa tuduhan tersebut tidak benar sama sekali. Sebab, orang yang
terkenal keras dalam menentang penulisan hadis seperti Ubaidah dan Ibn Sirin
adalah termasuk kelompok muhaddits. Sedangkan orang yang memperbolehkan dan
mendorong penulisan hadis seperti Hammad Ibn Abu Sulaiman, al-Zuhri, al-A‘masy,
Abu Hanifah, al-Tsaury, dan Malik adalah termasuk ahl al-ra'y.
5. Goldziher menuturkan bahwa "bimbingan resmi" dan kegiatan
penguasa" untuk memalsukan hadis sudah ada sejak dini dalam sejarah Islam.
Dampaknya tampak dalam pesan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah agar ia mengucilkan
‘Ali dan pengikutnya, serta jangan menerima hadis-hadis mereka. Di pihak lain,
Utsman dan dan para pengikutnya supaya disanjung-sanjung dan diterima hadisnya.
Pesan ini merupakan "siaran resmi" yang melegalisir pemalsuan hadis
untuk memojokkan ‘Ali demi membela kepentingan Utsman.
Glodziher menyimpulkan hal itu berdasarkan keterangan yang terdapat dalam tarîkh
karangan al-Thabâry, di mana Mu‘awiyah berpesan kepada al-Mughirah,
"Jangan segan-segan mencaci dan mengecam ‘Ali, dan jangan bosan menyayangi
dan memohonkan ampunan untuk Usman. Aib berada pada pengikut-pengikut ‘Ali,
karenaya kucilkanlah mereka dan jangan didengar ucapannya!"
Dr. Al-A‘zhamy menjawab, "Orang yang membaca teks-teks tersebut
berikut kesimpulannya akan merasa heran. Sebab perang antara Sayyidina ‘Ali dan
Mu‘awiyah sudah menjadi saksi sejarah. Memang merupakan suatu kewajaran, jika
dalam suatu negara, pemerintah selalu mengangkat pegawai dan pejabat yang loyal
kepadanya, bukan pembangkang. Inilah yang dilakukan Dinasti Umayyah pada saat
itu.
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."
Di samping itu, tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memalsukan hadis, baik secara resmi maupun tidak. Yang ada hanyalah ucapan Mu‘awiyah kepada al-Mughirah. Tidak ada kritikan atas Mu‘awiyah kecuali hanya karena ucapannya itu kalau benar ia mengucapkan demkian. Dan sejauh Itu, tidak ada tanda-tanda bahwa Mu‘awiyah sebagai seorang pemalsu hadis."
B. Biografi Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht
lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai
dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di
Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari
Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.
Pada tahun 1925 ia
diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia
dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas
Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk
mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini
Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939
sebagai Guru Besar.
Ketika perang dunia II
meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggeris untuk kemudian
bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang
dunia II ia berada di pihak Inggeris. Dan ketika perang selesai, ia tidak
pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggeris, dan menikah dengan
wanita Inggeris.
Bahkan pada tahun 1947
ia menjadi warga negara Inggeris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara
Inggeris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggeris tidak
memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang
gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca
Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor
(1952) dari universitas tersebut.
Pada tahun 1954 ia
meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai
Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan
kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959
ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru
Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum
Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara
umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang
Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian
tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan
Filsafat, dan lain-lainnya, seperti Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al
Fiqih (1924), Ath
Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang
paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunyaThe Origins of Muhammadan Jurisprudence yang
terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang
terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil
penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa
Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.
Tuduhan semacam ini muncul dari beberapa tokoh
orientalis, salah satunya adalah Joseph Scathc dalam bukunya The Origins of
Muhammadan Jurisprudence. Kajiannya diawali dengan meneliti proses kemunculan
Hukum Islam. Dia berpendapat bahwa Hukum Islam baru berwujud pada masa setelah
al-Sya’bi (w. 110 H). hal ini berarti hadits-hadits yang berkenaan dengan hukum
Islam adalah buatan orang-orang setelah al-Sya’bi. Karena ia beranggapan bahwa
hukum Islam baru dikenal pada masa pengangkatan para qadi. Maka kesimpulan yang
didapat dari hasil kajiannya tersebut bahwa keputusan-keputusan yang diambil
para qadi itu memerlukan legitimasi dari orang yang memiliki otoritas lebih
tinggi sehingga mereka menisbahkannya kepada orang-orang sebelum mereka sampai
pada totoh-tokoh generasi tabi’in, para Sahabat, dan berakhir pada Nabi
Muhammad Saw. inilah rekonstruksi sanad menurut Schatc.
Pemikiran Joseph Schacht
Orientalis berikutnya
yang meragukan otentisitas hadits adalah Josepht Schahct, secara umum
dapat disimpulkan bahwa pemikiran Josepht Schahct atas hadits banyak
bertumpu pada teori-teori yang digagas oleh pendahulunya yakni Goldziher. Hanya
saja perbedaannya adalah jika Goldziher meragukan otentisitas hadits , Josepht
Schahct sampai pada kesimpulan bahwa sebagian besar adalah
palsu. sebagaimana yang dikutip oleh Ali Mustafa Yaqub, Prof. Schacht
mengatakan : we shall not meet
any legal tradition from the prophet which can be considered authentic.
(kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadis nabi yang berkaitan dengan
hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadis Shahih.
Pandangan Schacht secara
keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadits-hadits
sampai pada ulama abad kedua, tapi rantai periwayatan yang merentang ke
belakang sampai kepada Nabi Saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat
diringkas dalam lima poin:
1.
Sistem isnad dimulai pada awal abad kedua atau, paling awal, akhir abad
pertama.
2.
Isnad-isnad itu diletakkan secara sembarangan dan sewenang-wenang oleh
mereka yang ingin “memproyeksikan ke belakang” doktrin-doktrin mereka sampai
kepada sumber-sumber klasik.
3.
Isnad-isnad secara bertahap “meningkat” oleh pemalsuan; isnad-isnad yang
terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa
koleksi-koleksi klasik.
4.
Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafi’I untuk menjawab
penolakan-penolakan yang dibuat untuk hadits-hadits yang dilacak ke belakang sampai
kepada satu sumber. “isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula
materi yang disampaikan di dalam isnad-isnad itu.
5.
Keberadaan comman narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi
bahwa hadits itu berasal dari masa periwayat itu.
Dan dalam rangka
membuktikan dasar-dasar pemikirannya tentang kepalsuan hadits Nabi saw, Joseph
Schacht menyusun beberapa teori berikut ini:
1. Teori
Projecting Back
Maksud dari teori ini
bahwa untuk melihat keaslian hadits bisa direkonstruksikan lewat
penelusuran sejarah hubungan antara hukum islam dengan apa yang disebut
hadits Nabi. Prof. Schacht menegaskan bahwa Hukum Islam belum eksis pada
masa al-Sya’bi (110 H). penegasan ini memberikan pengertian bahwa apabila
ditemukan Hadits -Hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka Hadits
-hadits itu adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Ia
berpendapat bahwa Hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan
para qadhi (hakim
agama). Pada khalifah dahulu (khulafa
al-Rasyidin) tidak pernah mengangkat qadhi. Pengangkatan Qadhi baru
dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah.
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat
para qadhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang
jaraknya masih dekat, melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih dahulu,
misalnya Masruq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih
kuat, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada tokoh yang memiliki otoritas
paling tinggi, misalnya Abdullah ibn Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat
itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekontruksi terbentuknya
sanad Hadits menurut Prof. Schacht, yaitu dengan memproyeksikan
pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh yang legitimit yang ada
dibelakang mereka, inilah yang disebut oleh Schacht dengan teori projecting
Back.
Selain itu, Ia juga mengklaim bahwa sanad
lengkap yang berujung ke Rasulullah saw adalah ciptaan atau tambahan para
fuqâhâ’ di era Tabi’in dan setelahnya, yang ingin memperkokoh madzhab
mereka dengan menjadikannya sebagai hadits nabawi.
2. Teori
Esiliento
Sebuah teori yang
disusun berdasarkan asumsi bahwa bila seseroang perawi pada waktu
tertentu tidak cermat terhadap adanya sebuah hadits dan gagal
menyebutkannya atau jika satu hadits oleh ulama atau perawi yang
datang kemudian yang mana para perawi sebelumnya menggunakan hadits tersebut,
maka berarti hadits tersebut tidak pernah ada. Jika satu hadits
ditemukan pertama kali tanpa sanad yang komplit dan kemudian ditulis dengan isnad
yang komplit, maka isnad itu juga dipalsukan. Dengan kata lain untuk
membuktikan hadits itu eksis/ tidak, cukup dengan menunjukkan bahwa
hadits tersebut tidak pernah dipergunakan sebagai dalil dalam diskusi
para fuqaha. Sebab seandainya hadits itu pernah ada pasti hal itu akan
dijadikan sebagai refrensi.
3. Teori
Common Link
Yakni sebuah teori yang
beranggapan bahwa orang yang paling bertanggung jawab atas kemunculan sebuah
hadits adalah periwayat poros (common link) yang terdapat di tengah bundel
sanad-nya. Common link itulah yang menurut Juynboll merupakan pemalsu dari
hadits yang dibawanya. Argumennya satu: Jika memang sebuah hadits itu telah ada
semenjak Rasulullah saw, mengapa ia hanya diriwayatkan secara tunggal di era
Shahabat atau Tabi’in, lalu baru menyebar setelah Common Link? Juynboll
menganggap fenomena ini muncul karena common link itulah yang pertama kali
memproduksi dan mempublikasikan hadits tersebut dengan menambahkan sebuah jalur
sanad ke belakang sampai Rasulullah saw.
C.Nabia Abott
Berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Nabia (1897-1981) terkait dunia tulis menulis sebelum Nabi
Muhammad lahir, sebenarnya telah ditemukan naskah berbahasa arab dalam
bentuk sastra. Sedangkan untuk penulisan hadis, Nabia (1897-1981) mengatakan
bahwa sebagian kecil hadis telah ditulis di masa Muhammad masih hidup, dan
tumbuh setelah Muhammad wafat. Nabia (1897-1981) menambahkan, bahwa penyebaran
hadis secara lisan ternyata tidak berlangsung lama, selain untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan juga untuk membentuk kepercayaan masyarakat
terhadap seluruh isi hadis, dan untuk memelihara redaksi dan isi dari teks
hadis tersebut, maka dari satu generasi ke generasi selanjutnya penyebaran
hadis melalui lisan dan tulisan dilakukan secara berkesinambungan.
Sebagai tanggapan terhadap pandangan Goldziher
(w. 1921) ini, Nabia Abbott (1897-1981) menyatakan bahwa praktek penulisan
hadis sudah berlangsung “sejak awal” dan ”berkesinambungan”. Yang dimaksud
Nabia (1897-1981) dengan kata-kata “sejak awal” adalah bahwa para sahabat nabi
sendiri telah menyimpan catatan-catatan hadis. Sedangkan kata
“berkesinambungan” dimaksudkan bahwa sebagian besar hadis diriwayatkan secara
tertulis, selain dengan lisan hingga hadis-hadis itu dihimpun dalam berbagai
koleksi kanonik. Periwayatan hadis secara tertulis inilah yang menurutnya dapat
dijadikan sebagai jaminan bagi keshahihannya.
Era yang dipilih oleh
Nabia Abbott (1897-1981) untuk menguji hipotesanya bahwa hadis sudah ditulis
sejak masa hidup nabi mengambil empat periode umum. Pertama adalah periode
selama kehidupan Muhammad saw. Kedua adalah periode setelah wafatnya Muhammad
saw. ketika ada perkembangan dalam jumlah hadis secara luas yang disebarkan
oleh para sahabat hingga datangnya periode Umayyah. Periode ketiga adalah era Umayyah
ketika peranan kunci Ibnu Syihâb al-Zuhrî (w. 124/742) ditekankan. Pada periode
keempat, berbagai koleksi hadis formal atau hadis yang terkodifikasi muncul
pada buku-buku kanonik.
Nabia (1897-1981)
menambahkan bahwa kegiatan tulis menulis bukan tidak umum di kalangan
orang-orang Arab dan bahkan di masa pra Islam. Lebih jauh dikatakan
laporan-laporan mengenai Nabi Muhammad saw. telah ditulis semenjak masa hidup
nabi saw. Kenyataan bahwa tidak ada naskah yang survive dari periode ini
disebabkan oleh sikap ‘Umar (w. 23/644). Penolakan Umar bukan karena kegagalan
dan keengganan mereka itu untuk menulis hadis, tetapi karena ketakutan Umar
terhadap percampuran hadis dengan al-Qur`an. Dikarenakan pada saat itu terdapat
hadis qudsi. Disamping itu, Umar juga mengalami kekhawatiran terhadap suatu
perkembangan dalam islam, yang paralel dengan standarisasi yang ada dalam
Yudisme dan kekristenan. Karena hal itu, para sahabat lalu menghindari
untuk meriwayatkan hadis, baik secara tertulis maupun lisan, karena takut kepada
‘Umar. Hanya sedikit sahabat yang tetap mencatat, menghimpun dan meriwayatkan
hadis yang kemudian menjadi dasar bagi koleksi hadis belakangan.
Selanjutnya,
Nabia (1897-1981 M) mengatakan bahwa keputusan Umar menentang
penulisan hadis itu pada mulanya didukung oleh sekelompok kecil pendukungnya,
tetapi setelah Umar membakar ataupun menghancurkan naskah-naskah hadis, maka
banyak sahabat yang menahan diri untuk melakukan hal tersebut. Penghancuran
naskah hadis itu dilakukan oleh Umar, karena ia mengetahui adanya rencana
penyusunan naskah hadis. Pada saat itu sebenarnya tidak banyak sahabat yang
menentang penulisan hadis, diantara mereka ialah Abdullah ibn Mas`ud, Zaid ibn
Tsabit dan Abu Said al-Khudri.
Ada satu bukti bahwa
Abdullah ibn Umar yang pada awalnya menyetujui keputusan ayahnya (Umar)
tersebut, akan tetapi belakangan ia mulai melunak dan secara diam-diam
memperbolehkan bahkan sampai memerintahkan murid-muridnya untuk menulis hadis.
Hal ini kemudian diikuti pula oleh para sahabat lain walaupun pada awalnya
mereka juga mendukung keputusan Umar tersebut. Pengumpulan dan penulisan
hadis-hadis tersebut pada awalnya menjadi perhatian orang perorang (kalangan
individual saja), akan tetapi kemudian khalifah-khalifah Bani Umayyah seperti;
Mu`awiyyah (w. 60/ 680), Marwan dan Abdul Malik (w. 86/706) mengambil peranan
penting pula dalam periwayatan dan penghimpunan hadis-hadis, khususnya Umar ibn
abd al-Aziz yang sangat berhubungan dengan literatur hadis.
Nabia (1897-1981 M) menerima laporan (yang ditemukan pada riwayat
Shaybani (w. 189/ 805) dalam kitab muwattha` karya Malik ibn Anas) bahwa Umar
ibn Abd al-Aziz telah memerintahkan Abu Bakar inm Muhammad ibn Amr ibn Hazm (w.
120/ 738) yang pada saat itu menjadi Gubernur Madinah untuk menghimpun hadis.
Hal itu berlanjut kembali dengan diperintahkannya Ibn Shihab al-Zuhri
oleh Amr untuk menyusun sejumlah hadisyang berasal dari berbagai wilayah
tersebut.
Dengan wafatnya ‘Umar dan penyebaran
Mushaf ‘Utsmânî, kekhawatiran tersebut menjadi hilang. Hadis kemudian mengalami
perkembangan yang sangat berarti pada separo kedua abad pertama. Para sahabat
yang dulunya berpihak kepada ‘Umar dan enggan meriwayatkan hadis mulai mencatat
dan memelihara “pengetahuan mereka”. Selanjutnya, hadis diajarkan di berbagai
pusat Islam, terutama di Madinah dan Mekkah, tidak hanya oleh para ahli hukum
dan para hakim, tetapi juga oleh para guru, pengkhotbah dan tukang cerita
(qushshâsh/ story tellers).
Bukti bahwa hadis sudah ditulis sejak awal
Islam adalah adanya laporan-laporan tentang tulisan para sahabat dan tulisan
yang berasal dari mereka, tulisan para tabiin abad pertama dan tulisan yang
berasal dari mereka, tulisan para tabiin muda dan tulisan yang berasal dari
mereka, tulisan sejumlah tabiin muda dan para pengikut tabiin dan tulisan yang
berasal dari mereka. Tentang hal ini, M.M. Azami menyebutkan paling tidak 52
sahabat , 52 tabiin abad pertama, 99 tabiin muda, 247 tabiin muda dan para
pengikut tabiin yang telah menulis hadis.
Salah satu bukti dari
sekian banyak naskah hadis yang ditulis oleh para sahabat dan tabiin adalah
naskah Hammâm ibn Munabbih (40-131/132 H), seorang tabiin Yaman yang menerima
hadis dari gurunya, Abû Hurayrah dari Muhammad Rasulullah saw. Naskah Hammâm
ini kemudian dikenal sebagai ShahÎfah Hammâm bin Munabbih yang ditemukan oleh
Muhammad HamÎdullah di Damaskus, Syria dan di Berlin, Jerman. ShahÎfah Hammâm
ini berisi 138 hadis tanpa disertai daftar isi dan diyakini telah ditulis
sekitar pertengahan abad pertama hijrah.
Selain naskah Hammam,
ada beberapa naskah yang sudah ditemukan yang dapat digunakan untuk mendukung
pendapat Nabia Abbott (1897-1981) tersebut. Naskah-naskah itu adalah:
1. Naskah
hadis-hadis al-A’masy (w. 148 H) yang diriwayatkan oleh Wâqi’.
2. Kitab
al-Manâsik karya Ibnu Abi ‘Arûbah (w. 157 H).
3. Sebagian
dari kitab Sîrah Ibnu Ishâq (w. 151).
4. Sebagian
Naskah hadis-hadis Ibnu Jurayj (w. 150 H).
5. Naskah
Ibnu Thahmân (w. 168 H), juz pertama saja.
6. Naskah
Juwairiyyah yang berisi hadis Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
7. Naskah
‘Ubaidillâh bin ‘Umar yang berisi hadis dari Nâfi’ mawla Ibnu ‘Umar (w. 117 H).
8. Naskah
Suhail bin Abû Shâlih (w. 138 H) yang berisi hadis dari ayahnya.
9. Juz
awal dari Naskah hadis-hadis Sufyân al-Tsawrî (w. 161 H).
10. Naskah
al-Layts bin Sa’ad yang berisi hadis dari Yahid bin Abû Habîb (w. 128 H).
11. Naskah
Syu’aib bin Abû Hamzah yang berisi hadis dari al-Zuhri (w. 124 H).
Implikasi dari ditemukannya Naskah
Hammâm bin Munabbih dan beberapa naskah yang lain adalah bahwa hadis sudah
ditulis sejak sangat awal oleh para shabat dan tabiin. Tentu saja ini merupakan
bantahan terhadap pendapat Ignaz Goldziher (w. 1921) bahwa sebagian besar hadis
diriwayatkan hanya melalui lisan dan tidak melibatkan dokumen tertulis.
B. Respon
Terhadap Pemikiran Nabia Abbott (1897-1981)
Dua kategori yang
biasa dicantumkan terkait respon adalah pro, dan kontra. Namun pemikiran Nabia
c terkait periwayatan hadis secara tertulis penulis tidak menemukannya. Respon
yang berupa positif dan negatif terdapat dalam pemikiran Nabia (1897-1981 M)
yang tentang pertumbuhan isnad. Musthafa Azami berada dalam pihak
pro dalam memberikan komentar tentang explosive sanad, sedangkan Schact berada
dalam pihak kontra yang merespon negatif dalam pembahasan family isnad.
Melihat data-data dan
argumen yang diberikan oleh Nabia (1897-1981) dalam menolak
pandangan Goldziher (1921) dan menyuguhkan bermacam arsip dan script,
dapat penulis katakan bahwa penelitian ini dilakukan dengan landasan
kepentingan ilmiyyah, dan bukan kepentingan lain seperti pembelaan golongan
tertentu, politik, atau yang lainnya. Penulis juga menyetujui pandangan terkait
periwayatan hadis ini dengan alasan kelengkapan data yang disuguhkan Nabia
(1897-1981 M).
D. Arent Johannes Wennsinck.
Arent Jan Wensinck adalah Penyusun utama bagi
kitab indeks hadith-hadith yang berjudul al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz
al-Hadith al-Nabawi. Terdapat perbezaan ejaan nama iaitu terdapat ejaan Arend
Jan Wensinck seperti yang terdapat di dalam al-I'lam susunan Khair al-Din
al-Zirkili (Lihat al-’Ilam, j. 1, hlm. 289)Namun begitu ada juga
yang menyebut Arnold James Wensinck, tetapi ejaan ini tidak tepat kerana tidak
terdapat ejaan yang benar pada buku-buku karangan beliau.
Terdapat pandangan mengatakan bahawa
nama sebenar beliau adalah Arent atau Arend Johannes Wensinck, ini berdasarkan
pada surat beliau sendiri yang bertarikh pada 5 Maret 1934 yang ditulis dalam
bahasa Arab dengan meletakkan ringkasan nama dengan huruf Alif. Ya. Wensinck.
Ya itu merujuk kepada (يوهنس)
Johannes. Surat ini dihantar dari Belanda kepada Muhammad Fu`ad ‘Abd al-Baqiy
di Mesir. Arent Jan Wensinck (meninggal 1939 M). Nama penuh kitab berkenaan
adalah al-Mu’jam al-Mufahras li Alfaz al-Hadith al-Nabawi ‘an al-Kutub
al-Sittah wa ‘an Musnad al-Darimiy wa Muwatta’ Malik wa Musnad Ahmad Ibn Hanbal
atau dalam Bahasa Belanda ditulis Concordance Et Indices de La Tradition
Musulmane Les Six Livres Le Musnad D’al-Darimi, Le Muwatta’ de Malik, Le Musnad
de Ahmad Ibn Hanbal cetakan 1939 hingga 1969. Arent Jan Wensinck dilahirkan pada 1882M
bersamaan 1299H di Aarlanderveen, Belanda dan meninggal pada 1939M bersamaan
1358H. Ayah beliau bernama Johan Herman Wensinck manakala ibu beliau bernama
Anna Sara Geertruida Vermeer. Wensinck berkahwin pada 3 Oktober 1912M dengan
Maria Elisabet Daubanton dan mendapat dua anak lelaki dan dua anak perempuan.
Beliau merupakan pensyarah Bahasa Arab di Universiti Leiden, Belanda. Beliau
berkhidmat di universiti tersebut bermula 1927 hingga beliau meninggal dunia. Sering
merantau ke Mesir, Syria dan negara-negara Arab lain.
E. G.H.A Juyboll.
1. biografi dan karya-karya G.A.H Juynboll.
Gautier H.A Juyboll yang
lahir di leiden belanda pada tahun 1935 adalah seorang pakar di bidang sejarah
perkembangan awal hadits selama 30 tahun lebih ia secara serius mencurahkan
perhatiannya untuk melakukan penelitian hadits dari persoalan klasik hingga kontemporer.
Juynboll yang sering di beberapa kesempatan mengatakan “seluruhnya akan ku
persembahkan untuk hadits nabi”, ia juga mengajar di beberapa universitas di
belanda.
2. pokok pemikiran juynboll.
Pada masa dahulu
sahabat-sahabat ( yaitu orang-orang yang bergaul dengan nabi) merupakan sumber
yag paling baik untuk mengetahui sunnah nabi Muhammad SAW. Mereka mendengar
sendiri dari nabi dan menyaksikan dengan mata kepala sendiri terhadap
perbuatan-perbuatan. Kemudian kaum muslimin harus merasa puas dengan
pemberitaan para tabiin ( yakni para pengganti atau orang-orang angkatan
pertama sesudah Muhammad SAW) yang telah menerima dari para sahabat. Maka para
angkatan berikutnya dengan keterangan dari para tabiut-tabiin.
Riwayat-riwayat hadits
memegangi keterangan perseorangan selama beberapa angkatan. Setiap hadits yang
sempurna terdapat dua bagian. Bagian pertama berisi nama-nama yang memberikan bahan
hadits kepada orang lain. Bagian ini di sebut isnad ( atau juga sanad). Yakni “ sandaran “ . bagian kedua adalah matan atau kata-kata (hadits). Bahan
yang sebenarnya dari pemberitaan.
Terdapat dua hal yang
mendasari pentingnya penelitian hadits, yaitu: A. Terkait dengan posisi hadits
sebagai sumber hukum islam, B. Terkait dengan history hadits. Argumen history
mencangkup alasan karena tidak semua hadits telah tertulis dimasa rasullah.
Secara factual telah terjadi manipulasi dan pemalsuan hadits. Adapun kriteria
dalam kritik sanad adalah:
1.
Sanad bersambung.
2.
Sanad bersifat adil.
3.
Perawi bersifat dhabit.
4.
Terhindar dari syadz.
5.
Terhindar dari ilat.
Metode
tersebut sudah dianggap mapan oleh para hadits klasik. Namun pada pandangan
juynboll sangat berbeda. Menurutnya metode klasik tersebut masih menimbulkan
kontroversi jika digunakan untuk penisbahan terhadap hadits nabi. Juynboll
mengatakan ada beberapa titik kelemahan dalam metode tersebut, yaitu:
A.
Kemunculan metode kritik hadits konsvesionel dianggap terlambat.
B.
Isnad dapat dipastikan secara keseluruhan sesuai dengan kondisi budaya dan
politik di masanya.
C.
Tidak diterapkan kritik matan yang tepat.
Dalam hal ini juynboll menawarkan metode
common link periwayat pertama yang berbeda dengan pendahuluannya dengan bundel
isnad. Juynboll sering kali mengatakan sebuah asumsi yang menjadi pijakannya
dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah yang relative baru.
Junyboll mengatakan semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu maka semakin
besar pula seorang periwayat yang memiliki kesejarahan tertentu.
Sebuah hadits berasal dari nabi hanya
melalui sahabat kepada seorang tabiin lalu sampai pada tabiin yang lain hingga
sampai pada common link. Setelah itu jalur periwayatan mulai tersebar dan
terpancar keluar kesejarahan jalur periwayatan dari nabi hingga common link
tersebut tidak dapat di pertahankan.
Persoalan kenapa nabi hanya menyampaikan
haditsnya hanya kepada seorang sahabat saja dan mengapa seorang sahabat hanya
menyampaikan kepda seorang tabiin saja dan begitu seterusnya. Idealnya
mayoritas isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur
periwayatan yang berkembang sejak dari nabi. Dan kemudian memencar kepada
sejumlah sahabat dan kemudian disampaikan kepada sejumlah sahabat. Pendek kata
juynboll menginginkan mengenai sejarah awal periwayatan hadits lebih bersifat
ideal dan tidak realistis. Ia mengharapkan bahwa sebuah jalur isnad seharusnya
memancarkan sejak awal dari nabi melalui beberapa sahabat kemudian beberapa
tabiin dan seterusnya hingga kepada kolektor hadits.
Persolan disini adalah dalam
meriwayatkan hadits kenapa hanya pada seorang saja. Dan kenapa jalur isnad
dimulai dari common link. Bahkan yag lebih penting lagi adalah periwayat yang
menjadi common link dianggap bertanggung jawab atas jalur tunggal yang kembali
pada nabi. Pada abad ke-2 tidak dapat menerima penjelasan yang menyatakan bahwa
dunia islam penuh sesak dengan periwayatan hadits. Dimana beratus-ratus hadits
oleh para dadakan yang menjadi perawi tunggal kepada perawi pribadi lain dan
seterusnya.
Menurut pendirian kaum muslimin. Sesuatu
hadits hanya dapat di percaya apabila isnadnya memberikan rangkaian yang tidak terputu-putus
dari orang kepercayaannya. Penelitian-penelitian yang kritis terhadap isnad
telah menyebabkan ulama-ulama muslimin melakuakan penyelidikan-penyelidikan
yang sempurna. Bukan saja mereka berusaha untuk menentukan (memastikan)
nama-nama dan keadaan orang-orang (perawi) dengan maksud untuk menyelidiki
kapan dan dimana mereka hidup.
F. kesimpulan.
sebagian besar ahli hadits beranggapan bahwa apabila sebuah hadits yang
disandarkan kepada nabi dalam koleksi hadits kanonik. Lebih-lebih hadits yang
shohih al-bukhari dan muslim maka hadits itu bersumber dari nabi. Dalam hal ini
para tokoh orientalis pun menawarkan metode common link yang menurutnya pantas untuk
menggantikan metode kritik hadits klasik tersebut. Teori common juga
dimaksudkan untuk menolak semua asumsi dasar yang menjadi pijakan metode itu.
Para tokoh ini menawarkan
metode common link untuk mengganti dari metode klasik konvensional. Kritik
keshahihan sebuah hadits menurut teori common link bukan hanya terletak pada
kualitas dan kuantitas riwat bahkan terletak pada konteks kesejarahannya.
Semakin banyak jalur isnad yang memancar atau menuju jalur periwayat semakin
besar pula jalur itu memiliki klaim kesejarahan.
Komentar
Posting Komentar